|
Oleh: Dana Iswara, Praktisi Media
SATU siang di sebuah spa yang sejuk dan bersuasana nyaman di Jakarta, perempuan-perempuan asyik menikmati perawatan kecantikan. Sinar Matahari yang terik dan menyengat di luar hanya serasa seperti pendar cahaya yang menembus celah-celah tirai salon tanpa takut menyakiti kulit perempuan-perempuan di sana.
Di antara perempuan itu, sejumlah gadis yang kelihatan masih amat belia asyik menikmati menicure, pedicure, body scrub, keriting, pelurusan rambut, creambath atau apa pun namanya mulai ujung rambut hingga ujung kaki.
Dewasa ini bukan hal yang aneh lagi jika kita melihat salon kecantikan, spa, wellness center, dan semacamnya sibuk melayani gadis-gadis belia yang siap menghamburkan ratusan ribu rupiah dalam tempo sekejap. Sepuluh tahun lalu salon hanya didatangi perempuan dengan batas usia termuda 18 tahun, tetapi sekarang salon biasa melayani gadis berusia 10, 12, dan 13 tahun. Mereka bisa datang dua hingga tiga kali seminggu. Ah, bukankah angka itu menunjukkan mereka masih di bawah umur? Di mal-mal gadis remaja juga gemar menghabiskan waktu untuk berbelanja produk kecantikan. Ada yang membeli body glitter, perona mata, pemutih wajah, sampai lotion untuk menghilangkan bulu kaki. Untuk apa semua itu?
Salah seorang dari mereka, siswa kelas II sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), membantu memberi jawaban: menurut keyakinan gadis-gadis sebayanya, rasa percaya diri tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diraih bukan hanya dengan otak yang encer, melainkan juga melalui gaya hidup yang mengikuti tren kecantikan dan mode. Di sini pangkal persoalannya. Tren kecantikan-sama seperti halnya moderemaja-berpotensi memicu anak-anak kita ke arah rasa kurang pe-de dan perilaku konsumtif.
Di mana-mana iklan produk kecantikan menyergap kita. Citra perempuan sekarang mungkin tak jauh dari apa yang kerap muncul di sana: tubuh langsing, rambut panjang dan lurus, wajah putih mulus, dan bola mata yang indah berkat lensa kontak berwarna ungu atau hijau. Syukurlah tak selamanya yang cantik adalah seperti itu. Sejarah manusia mencatat, definisi cantik terus-menerus berubah. Di Eropa pada abad pertengahan kecantikan perempuan berkait erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi.
Pada awal abad ke-19 kecantikan didefinisikan dengan wajah dan bahu yang bundar serta tubuh montok. Sementara itu, memasuki abad ke-20 kecantikan identik dengan perempuan dengan bokong dan paha besar. Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, terutama ketika ia telah menikah, sebab kemontokannya menjadi lambang kemakmuran hidupnya. Tahun 1965 model Inggris, Twiggy, yang kurus kerempeng menghentak dunia dengan tubuhnya yang tipis dan ringkih. Ia lalu digandrungi hampir seluruh perempuan seantero jagat dan menjadi ikon bagi representasi perempuan modern saat itu. Menurut feminis Naomi Wolf, apa yang dilakukan dunia mode lewat Twiggy saat itu merupakan upaya dekonstruksi citra montok dan sintal sebelumnya. Twiggy yang kerempeng adalah representasi gerakan pembebasan perempuan dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif.
DEFINISI cantik dan mitos bagi perempuan memang berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, seperti yang dikatakan Richard Dunphy, dosen politik seksual di Inggris, pada kenyataannya kita telah terperangkap di dalam berbagai citra dan mitos itu. Bukankah selama ini kita para perempuan telah dipaksa untuk berpikir dan bertindak sejalan dengan mitos dan citra kecantikan itu?
Entah sadar atau tidak, kita telah mewariskan kepada generasi muda perilaku dan pola berpikir yang terbelenggu dalam mitos dan pencitraan. Yang lebih menyedihkan, kita tak sadar bahwa definisi dan pencitraan kecantikan serta seksualitas-yang awalnya didefinisikan kaum lelaki-lama-kelamaan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan dan dibuat kita sendiri, semata-mata untuk menyenangkan kaum lelaki.
Sebagian dari kita yang pernah membaca karya monumental Simone de Beauvoir, The Second Sex, tentu ingat, di satu bagian Simone menggambarkan tentang masa tersulit bagi perempuan ketika menjalani proses transisi dari seorang gadis menjadi perempuan dewasa. Menurut Simone, peralihan menjadi dewasa disertai tuntutan agar menjadi bersikap feminin yang didefinisikannya sebagai lemah, penurut, dan tidak produktif.
Umumnya perempuan menghadapi kontradiksi yang hebat di dalam dirinya sendiri dalam mengadopsi sifat-sifat feminin yang diajarkan oleh keluarga berdasarkan tradisi turun-temurun. Tak semua merasa senang harus menjadi seorang perempuan. Dari pribadi yang bebas dan spontan berbuat apa saja di masa kecil dan remajanya, kini ia harus menekan kemauan dan perasaannya agar tidak berkarakter keras dan garang seperti lelaki.
Kegalauan hati Simone dicurahkan dalam kalimat "bukan dengan meningkatkan nilainya sebagai manusia bahwasanya perempuan dihargai oleh kaum lelaki; [namun] dengan membentuk dirinya sesuai dengan mimpi-mimpi mereka". Di dalam buku itu Simone lalu mengeluh, "seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi seorang perempuan".
Demikianlah tradisi: ia mengakar dan mengajar masyarakat tentang berbagai hal, termasuk bagaimana seharusnya menjadi perempuan atau lelaki. Mitos-mitos kecantikan dan seksualitas sebagian juga lahir lewat tradisi dan sebagian dari kita sendiri tanpa sadar masih memelihara dan membiarkannya turun kepada generasi anak-anak kita.
Mungkin sudah sering kita dengar dari orang-orang tua larangan terhadap kaum perempuan untuk makan buah pisang ambon, nanas, atau mentimun karena "bisa menyebabkan timbulnya darah putih". Setelah melahirkan, perempuan masih harus minum jamu kunyit agar "peranakan cepat kering" serta dilarang keras makan ikan gabus agar "peranakan tidak cepat mekar". Entah bagaimana penjelasannya serta kebenarannya secara medis-dan bukan tujuan saya di sini untuk mendebat kebenarannya-tetapi adanya mitos itu rasanya membuat kita kehilangan hak untuk menikmati berbagai karunia alam yang diberikan oleh Tuhan.
Yang lebih penting menjadi perhatian di sini adalah segala aturan dan larangan yang mengikuti mitos itu secara langsung ataupun tidak langsung punya tujuan menyenangkan kaum lelaki. Dalam hal ini Naomi Wolf benar, ia mengatakan di dalam bukunya, The Beauty Myth, kecantikan adalah tempat yang tepat untuk memelihara dominasi pandangan patriarkis. Yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah upaya dari para produsen produk kecantikan dan kesehatan untuk menyebarkan mitos dan citra kecantikan ke masyarakat. Padahal, apa yang mereka sebarkan adalah iklan produk. Data iklan televisi pada November 2003 menunjukkan, produk seperti sampo, sabun, pelembut pakaian, dan pemutih termasuk ke dalam 20 pengiklan terbesar. Belum lagi kalau kita melihat ke iklan di media cetak, khususnya majalah untuk remaja. Halaman demi halaman sesak diisi produk kecantikan remaja.
SUNGGUH tak ada yang salah dengan perawatan tubuh untuk merawat kecantikan. Yang perlu direnungkan adalah bagaimana kita menyikapi tren dan rayuan mautnya itu, lalu secara tegas berkata tidak untuk berbagai treatment yang memang tidak perlu dijalani. Hal ini penting karena perempuan sebagai kaum yang diincar oleh para pemilik kapital memang mudah dibuat tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan kondisi fisiknya.
Di samping itu, cara kita memandang mitos yang turun-temurun di dalam tradisi juga penting untuk meluruskan pencitraan yang selama ini mengungkung kebebasan kita. Sebaiknya kita tidak mencekoki generasi muda dengan mitos tentang seksualitas dan kecantikan agar mereka dapat tumbuh bebas dan berkembang tanpa rasa khawatir. Anak-anak kita generasi mendatang harus yakin bahwa rasa pe-de
Tidak ada komentar:
Posting Komentar